PARA PENGHAMBAT PELATIHAN YANG MEMBUAT PELATIHAN GAGAL
Pihak penghambat penerapan hasil training ditempat kerja, judulnya agak "negatif", tetapi perlu kita kaji. Penghambat itu bersumber dari beberapa pihak:
1. Karyawan sendiri - yg tidak menerapkan apa yg telah dipelajari
2. Line manager/ Supervisor - yg tidak melakukan evaluasi dan monitoring
3. Training manager & Trainer - yg tidak membantu & mendorong dilakukannya monitoring dan evaluasi
4. Kebijakan dan system - yg tidak mendukung
5. Budaya kerja - yg tidak kondusif
Mari kita coba bahas satu persatu tentang "para penghambat" ini. Pihak yang pertama, Karyawan ex-peserta training yang pernah dilatih namun dia tidak menerapkannya didalam pekerjaannya. Misal ditraining budaya 5S namun tidak menerapkan dalam ruangan kerjanya. Kemudian dia diundang kembali untuk mengikuti training yang sama tentang 5S. "Duuh... training apaan sih, males ah.." sering diucapin olehnya. Pihak pertama ini cenderung kembali pada cara kerja lama, apalagi cara kerja tersebut sudah menjadi kebiasaan yang sdh dilakukan dalam waktu lama. Kemudian yang lain adalah adanya resistensi atau penolakan, gak percaya terhadap teori atau cara baru, minimal nggak merasa nyaman dengan cara kerja baru yang telah dipelajari karena semangat berprestasi yang memudar dan 'sinis" karena cara baru tersebut tidak bermanfaat bagi dirinya.
Pihak kedua ialah, Line manager/ Supervisor - yg tidak melakukan evaluasi dan monitoring. Sikap penghambatnya ditunjukkan dengan menganggap karyawan dgn sendirinya akan menerapkan apa yang telah dipelajari, menganggap evaluasi dan follow up hasil training di tempat kerja bukan merupakan bagian integral dari proses training. Sikap negatif lainnya yang gak kalah seram ialah menganggap training bukan tanggung jawabnya, melainkan tugas dan tanggung jawab training manager. Bagi mereka dalam benaknya training dianggap sebagai beban, dan merupakan tugas tambahan (extra job). Mereka juga tidak mempunyai pengetahuan tentang system dan mekanisme evaluasi dan follow up hasil training ditempat kerja serta diperparah dengan tidak adanya pengetahuan tentang materi training yang telah dipelajari anak buahnya (cuek bebek).
Pihak ketiga, Training manager & Trainer - yg tidak membantu & mendorong dilakukannya monitoring dan evaluasi, ada beberapa sebab. Yang pertama dia merasa tanggung jawabnya hanya sebatas sampai mengajarkan materi. masalah hasil training diterapin atau "forget it", bukan menjadi urusannya. Pihak ketiga ini tidak melakukan "semangat" mendorong pengevaluasian disebabkan juga dalam benaknya menganggap line manager/ supervisor pasti akan dengan sendirinya mengevaluasi dan memonitor anak buahnya dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajari. Sebab lain ialah dia gk mendorong dilakukan monitoring ialah karena si line manager/ supervisor dilapangan nggak dibekali dengan system tata cara evaluasi pelatihan, bagaimana cara follow up, apa indicator KSA yang harus ada setelah pelatihan diberikan kepada anak buahnya. Juga pihak ketiga ini bisa jadi juga nggak melibatkan line manager/ supervisor dalam proses training, baik sebelum maupun sesudah program training dilaksanakan. Dan sebab terakhir ialah menjadikan jumlah "man-Days" sebagai sasaran utama, mengabaikan sasaran training yang sebenarnya yaitu perubahan dan peningkatan cara kerja karyawan di tempat kerja, soft & hard skill atau peningkatan kompetensi KSA (Knowledege, Skills dan Attributes).
Pihak penghambat kempat yaitu tentang kebijakan (policy) dan system serta sarana dan prasarana tidak mendukung pelatihan. Penyebabnya ialah policy dan procedur yang ada tidak 'efektif' seperti tidak memberikan penghargaan kepada karyawan yang kinerjanya lebih baik dari pada karyawan lainnya, yg tentunya hasil dari pelatihan. Sebab lain ialah ilmu yang didapat dari pelatihan tidak bisa diwujudkan karena tidak tersedianya sarana perlengkapan untuk itu. Misal kisah nyata sederhana di tempat saya, ada karyawan yang dilatih MS Office mulai Word, excel dan power point, namun setelah dilatih komputernya rusak dan proses penggantian yg lama sehingga saat komputer datang di meja kerjanya, beberapa ilmu yg didapatkannya pun telah menguap sebagian. Contoh lain disekitar saya ialah maksimum pelatihan tiap batchnya dilakukan "setengah hari" karena dianggap mengganggu produktifitas, Waaah... konyol dan "setengah hati" dalam membentuk "learning organization culture" tentunya.
Pihak penghambat ke lima ialah Budaya kerja yang tidak kondusif. Ialah budaya dan perilaku yang dtidak sejalan bahkan bertentangan dengan pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajari, terutama jika hal itu dilakukan oleh atasan. Misal, ada training Leadership yang salah satunya mengajarkan kepemimpinan Partisipatif dan pengambilan keputusan secara konsensus namun dilain pihak budaya untuk itu (top management), lebih banyak kepemimpinan pola otoriterian dan jauh dari kesan demokratis.
Lalu solusinya? akan saya paparkan di posting saya selanjutnya.
1. Karyawan sendiri - yg tidak menerapkan apa yg telah dipelajari
2. Line manager/ Supervisor - yg tidak melakukan evaluasi dan monitoring
3. Training manager & Trainer - yg tidak membantu & mendorong dilakukannya monitoring dan evaluasi
4. Kebijakan dan system - yg tidak mendukung
5. Budaya kerja - yg tidak kondusif
Mari kita coba bahas satu persatu tentang "para penghambat" ini. Pihak yang pertama, Karyawan ex-peserta training yang pernah dilatih namun dia tidak menerapkannya didalam pekerjaannya. Misal ditraining budaya 5S namun tidak menerapkan dalam ruangan kerjanya. Kemudian dia diundang kembali untuk mengikuti training yang sama tentang 5S. "Duuh... training apaan sih, males ah.." sering diucapin olehnya. Pihak pertama ini cenderung kembali pada cara kerja lama, apalagi cara kerja tersebut sudah menjadi kebiasaan yang sdh dilakukan dalam waktu lama. Kemudian yang lain adalah adanya resistensi atau penolakan, gak percaya terhadap teori atau cara baru, minimal nggak merasa nyaman dengan cara kerja baru yang telah dipelajari karena semangat berprestasi yang memudar dan 'sinis" karena cara baru tersebut tidak bermanfaat bagi dirinya.
Pihak kedua ialah, Line manager/ Supervisor - yg tidak melakukan evaluasi dan monitoring. Sikap penghambatnya ditunjukkan dengan menganggap karyawan dgn sendirinya akan menerapkan apa yang telah dipelajari, menganggap evaluasi dan follow up hasil training di tempat kerja bukan merupakan bagian integral dari proses training. Sikap negatif lainnya yang gak kalah seram ialah menganggap training bukan tanggung jawabnya, melainkan tugas dan tanggung jawab training manager. Bagi mereka dalam benaknya training dianggap sebagai beban, dan merupakan tugas tambahan (extra job). Mereka juga tidak mempunyai pengetahuan tentang system dan mekanisme evaluasi dan follow up hasil training ditempat kerja serta diperparah dengan tidak adanya pengetahuan tentang materi training yang telah dipelajari anak buahnya (cuek bebek).
Pihak ketiga, Training manager & Trainer - yg tidak membantu & mendorong dilakukannya monitoring dan evaluasi, ada beberapa sebab. Yang pertama dia merasa tanggung jawabnya hanya sebatas sampai mengajarkan materi. masalah hasil training diterapin atau "forget it", bukan menjadi urusannya. Pihak ketiga ini tidak melakukan "semangat" mendorong pengevaluasian disebabkan juga dalam benaknya menganggap line manager/ supervisor pasti akan dengan sendirinya mengevaluasi dan memonitor anak buahnya dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajari. Sebab lain ialah dia gk mendorong dilakukan monitoring ialah karena si line manager/ supervisor dilapangan nggak dibekali dengan system tata cara evaluasi pelatihan, bagaimana cara follow up, apa indicator KSA yang harus ada setelah pelatihan diberikan kepada anak buahnya. Juga pihak ketiga ini bisa jadi juga nggak melibatkan line manager/ supervisor dalam proses training, baik sebelum maupun sesudah program training dilaksanakan. Dan sebab terakhir ialah menjadikan jumlah "man-Days" sebagai sasaran utama, mengabaikan sasaran training yang sebenarnya yaitu perubahan dan peningkatan cara kerja karyawan di tempat kerja, soft & hard skill atau peningkatan kompetensi KSA (Knowledege, Skills dan Attributes).
Pihak penghambat kempat yaitu tentang kebijakan (policy) dan system serta sarana dan prasarana tidak mendukung pelatihan. Penyebabnya ialah policy dan procedur yang ada tidak 'efektif' seperti tidak memberikan penghargaan kepada karyawan yang kinerjanya lebih baik dari pada karyawan lainnya, yg tentunya hasil dari pelatihan. Sebab lain ialah ilmu yang didapat dari pelatihan tidak bisa diwujudkan karena tidak tersedianya sarana perlengkapan untuk itu. Misal kisah nyata sederhana di tempat saya, ada karyawan yang dilatih MS Office mulai Word, excel dan power point, namun setelah dilatih komputernya rusak dan proses penggantian yg lama sehingga saat komputer datang di meja kerjanya, beberapa ilmu yg didapatkannya pun telah menguap sebagian. Contoh lain disekitar saya ialah maksimum pelatihan tiap batchnya dilakukan "setengah hari" karena dianggap mengganggu produktifitas, Waaah... konyol dan "setengah hati" dalam membentuk "learning organization culture" tentunya.
Pihak penghambat ke lima ialah Budaya kerja yang tidak kondusif. Ialah budaya dan perilaku yang dtidak sejalan bahkan bertentangan dengan pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajari, terutama jika hal itu dilakukan oleh atasan. Misal, ada training Leadership yang salah satunya mengajarkan kepemimpinan Partisipatif dan pengambilan keputusan secara konsensus namun dilain pihak budaya untuk itu (top management), lebih banyak kepemimpinan pola otoriterian dan jauh dari kesan demokratis.
Lalu solusinya? akan saya paparkan di posting saya selanjutnya.
Comments