BOS AROGAN

Ada Seorang Pebisnis, dia menceritakan susah payahnya membangun bisnisnya. Cerita yang mengharukan sekaligus heroik ketika dia harus tidur di kolong jembatan saat tiba di Jakarta ketika remaja. Dengan susah payah dia merangkak dari bawah untuk bertahan hidup. Menikah tanpa uang sepeser pun. Hidup di rumah kontrakan kecil. Akan tetapi, dia tidak patah arang. Dia mengamati cara kerja orang sukses, mencontoh, dan memodifikasi sendiri produknya. Sekarang, dia pun berjaya. Tiga pabrik besar ada di genggamannya.

Namun, sayang sekali. Perusahan itu sedang diterpa badai masalah internal. Pemicunya tak lain adalah sikap pemimpin yang arogan. Dia otoriter dan antikritik.

“Kalau saya bisa, kalian juga harus bisa,” katanya pongah.

Dia pun menolak ide-ide baru. Dia mengelola perusahaan dengan serampangan (sesuai kebenaran pribadinya). Turn over / karyawan resign pun tinggi. Sisanya hanya kelompok para ‘penjilat’ yang tidak berani melawan. Dia menginginkan anak buahnya di-training. Padahal, dia sendiri yang perlu up date diri dengan training.

Arogansi bisa menghampiri siapa saja. Termasuk seorang pendidik, guru, dosen, yang tiap hari memberi sesuatu bagi orang lain.

Dari situ, kita belajar banyak untuk hati-hati. Kesuksesan jangan membuat kita arogan dan cenderung self centered serta tidak mau mendengarkan orang lain. Dunia begitu mengenal sosok Mao, Hitler, ataupun Stalin. Mereka berjuang dari basis bawah menuju pucuk kepemimpinan. Mereka pun berjuang untuk perubahan di masyarakatnya. Idealisme mereka sangat luar biasa. Orang pun dibuatnya kagum. Namun, mereka lupa daratan ketika sukses. Mereka memonopoli kebenaran tunggal alias antikritik dan anti pembaharuan. Mereka memimpin dengan tangan besi. Korban pun bergelimpangan dari tangannya. Begitu juga dalam sejarah bisnis. IBM yang begitu besar dan terkenal pernah mengalami kemerosotan saat arogansi membekap sikap dan pikiran para pemimpin mereka.

Seorang CEO dari perusahaan Fortune 100 mengatakan:

“Success can lead to arrogance. When we are arrogant, we quit listening. When we quit listening, we stop changing. In today’s rapidly moving world, if we quit changing, we will ultimately fail.” (Sukses bisa membuat kita jadi arogan. Saat kita arogan, kita berhenti mendengarkan. Ketika kita berhenti mendengarkan, kita berhenti berubah. Dan di dunia yang terus berubah dengan begitu cepatnya seperti sekarang, kalau kita berhenti berubah, maka kita akan gagal).

Itulah sisi negatif dari kesuksesan, yakni arogansi. Arogansi muncul saat seseorang merasa diri paling hebat, paling luar biasa, dan paling baik dibandingkan dengan yang lainnya. Penyakit mental ini bisa menjangkiti apa dan siapa saja, mulai dari organisasi, produk, pemimpin, sampai orang biasa.

Orang sukses lalu bersombong ria sebenarnya patut disayangkan. Bayangkan saja, saat berjuang keras menggapai kesuksesan, mereka begitu terbuka untuk belajar. Mereka mau mendengarkan. Mereka mau berjerih payah, berani hidup susah, dan mengorbankan diri. Bahkan, mereka tampak sangat ‘merakyat’ hidupnya. Akan tetapi, itu dulu. Sayang sekali, saat kesuksesan datang, mereka lupa diri. Mungkin dia akan berkata, “Saya sudah berhasil mencapai yang terbaik. Sekarang, Andalah yang harus mendengarkan saya. Saya tidak perlu lagi mendengarkan Anda.” Hal itu diperparah lagi ketika mereka dikelilingi oleh para ‘yes man’ yang tidak berani angkat bicara soal kekurangan orang ini. Hal ini membuat orang itu semakin ‘megalomania’ , pongah, angkuh, dan egois. Ia terbelenggu oleh kesuksesannya sendiri. Ia tidak pernah belajar lagi.

TERJEBAK RETORIKA

Namun, itulah yang terjadi apabila orang berhenti belajar dan merasa diri sudah selesai. Tanpa dia sadari, lingkungannya terus belajar, berinovasi, dan berkembang. Sementara, dia mandek di posisinya. Akibatnya, kue kesuksesan yang dia peroleh lama-kelamaan menjadi basi. Tanpa sadar, kompetitor mereka bergerak jauh meninggalkan dirinya di belakang. Mereka terjebak dalam retorika, kalimat, jurus yang itu-itu saja alias usang. Arogansi telah menutup hati dan pikirannya untuk kreatif menemukan jurus dan tip-tip baru mempertahankan sekaligus mengembangkan kesuksesannya. Di sinilah, arogansi berujung pada malapetaka dan kehancuran.

Jadi, bagaimanakah tipnya agar kesuksesan kita tidak berubah menjadi arogansi?

Pertama- Aware (sadar) dengan sikap dan tingkah laku kita selalu. Meskipun sudah sukses, kita perlu memberi waktu untuk menyadari sikap dan perilaku kita di mata orang lain. Selalulah sadar apakah nada dan ucapan serta tindak tanduk kita sekarang semakin membuat banyak orang lain terluka? Apakah kita masih tetap menghargai orang lain? Apalagi orang-orang yang telah turut membawa Anda ke level sukses sekarang, apakah Anda hargai? Jangan sampai, tatkala masih bersusah payah, kita begitu respek, tetapi setelah sukses justru mencampakkan mereka.

Kedua- Waspadai umpan balik yang hanya menghibur kita tetapi tidak membuat kita belajar lagi. Hati-hati dengan orang di sekeliling kita yang hanya mengatakan hal bagus, tetapi tidak berani memberikan masukan yang baik. Kadang, masukan negatif juga kita perlukan demi perkembangan, sesukses apa pun kita.

Ketiga- Awasi dan peka dengan perubahan yang terjadi. Dalam buku Who Moved My Cheese disimpulkan bahwa kita harus selalu mencium keju kita, apakah sudah basi ataukah mulai diambil orang lain. Kita pun harus terus mencium dan peka bagaimana orang lain mengembangkan dirinya serta bisa jadi ancaman bagi kita. Jangan pula merasa diri paling hebat dan lupa belajar.

Keempat- Sopan dan rendah hati untuk belajar dari orang lain.

Semoga tulisan ini menginspirasi Anda untuk meraih sukses sejati. Kesuksesan yang membuat Anda tidak arogan. Baiknya kita tutup tulisan ini dengan kalimat kuno yang seringkali sudah kita dengar. “Di atas langit masih ada langit yang lain”.

TEORI GAYA KEPEMIMPINAN OTORITER

Menurut Lewin, Lippitt dan White, gaya kepemimpinan yang otoriter memiliki cirri-ciri sebagai berikut:

  • Semua keputusan kebijaksanaan dihasilkan oleh pemimpin.
  • Setiap langkah aktivitas dan teknik diperintahkan oleh pemimpin satu persatu, sehingga langkah di masa depan selalu tidak menentu.
  • Pemimpin biasanya mendiktekan tugas dan kerja lainnya untuk setiap anggota.
  • Pemegang peran dalam memuji dan mengkritik adalah pribadi, tetapi tetap tidak aktif dalam kelompok kecuali hendak memperagakan sesuatu. Ia bisa ramah atau tidak manusiawi, tetapi tidak bersikap bermusuhan secara terbuka.

Secara lebih detil dan jelas Nawawi dan Martani, menyebutkan ciri-ciri pemimpin otoriter sebagai berikut :

  1. Pelaksanaan tugas merupakan kegiatan penting.
  2. Pelaksanaan tugas tidak boleh keliru, salah atau menyimpang dari instruksi.
  3. Inisiatif dan kreatifitas orang-orang yang dipimpin dimatikan, karena dipandang akan menyimpang dari instruksi.
  4. Kurang memperhatikan hubungan manusiawi.
  5. Kurang mempercayai orang lain.
  6. Senang bertindak keras dengan disiplin yang kaku.
  7. Orang-orang yang dipimpinnya diperlakukan sekedar sebagai pelaksana kehendak Pimpinan yang selalu siap dan tidak boleh salah, sebagaimana layaknya sebuah mesin.
  8. Sukar memberikan maaf pada bawahan.
  9. pendapat dari bawahan bukan saja dianggap tidak benar, tetapi dinilai tidak perlu dan dianggap menantang atau membangkang.
  10. Orang-orang yang dipimpin tidak bersatu dan terpecah-pecah dalam kelompok kecil.

Namun perlu hati-hati karena dalam jangka waktu lama, hal ini akan sangat merugikan organisasi karena kurangnya partisipasi dari seluruh anggota-nya. Apalagi jika kebijakan yang anda ambil ternyata kurang pertimbangan dan disukung dengan studi kelayakan yang memadahi maka akan dapat menimbulkan masalah-masalah lain yang akan berdampak lebih buruk dikemudian hari.

Survei yang pernah dilakukan di Hay Group bekerjasama dengan Majalah SWA, faktor yang signifikan berpengaruh terhadap tingkat keterlibatan karyawan dalam menghasilkan kinerja tinggi (engaged performance) di antaranya aspek kepemimpinan, yang di dalamnya juga terkait dengan aspek komunikasi dan arahan dari pimpinan ke seluruh anggota organisasi atau unit kerja.

Survei lain yang dilakukan oleh salah satu consulting firm global juga menyatakan bahwa naik turunnya iklim kerja sebesar 70% dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan, dan kemudian naik turunnya kinerja sebesar 30% dipengaruhi oleh iklim kerja.

Dalam jangka panjang tipe kepemimpinan “membangun” akan lebih cocok karena memiliki ciri sperti berikut :

  1. Mahir berorganisasi terutama dalam mewujudkan dan membina kerja sama dalam rangka mencapai tujuan bersama.
  2. Bekerja secara efektif, efisien dan bertanggung jawab dalam menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasinya.
  3. Mampu dan mau mempercayai orang lain dalam bekerja.
  4. Memiliki kemampuan dan kemauan yang tinggi dalam menghormati, menghargai dan memperlakukan orang lain sebagai subyek.
  5. Cenderung pada usaha menciptakan hubungan manusia yang efektif dan terarah dalam mewujudkan dan membina kerja sama dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
  6. Meyakini bahwa orang-orang yang diberi pelimpahan wewenang, mampu melakukan pengendalian diri dalam menjalankan wewenang yang diterimanya.

Jadi berhati-hatilah jika dalam organisasi yang anda pimpin mulai terjadi suasana seperti berikut:

  • Tidak ada konflik atau gejolak.
  • Tidak ada yang mempunyai pendapat ekstrim berbeda, kalaupun ada pendapat hanya bersifat mendukung atau meng-amini saj
Pustaka (Dwayrahmawati.Wordpress.Com/ e-motivasi.com dan dari beberapa sumber)

Comments

Dani Wahyu said…
Ngeselin emang punya atasan kayak gitu, hehe. Nah kalo yang ini, saya nemuin artikel sebaliknya nih tentang ciri-ciri kalo kamu punya bos yang hebat di tempat kerja. Cek di sini yak: Tanda-tanda kamu punya atasan hebat di kantor

Popular posts from this blog

5W2H method - Sebelum melangkah ke solusi perbaikan

20 JENIS KOMPETENSI - SPENCER & SPENCER

MENGENAL ASSERTIVE SECARA SEDERHANA